“Mengapa Gorontalo Memisahkan Diri?”

18 05 2010

Oleh: Mahyudin Damis

Pendahuluan

Pembangunan Indonesia di masa Orde Baru, yang berakhir dengan krisis multi dimensi berkepanjangan disebabkan antara lain oleh sentralisasi kekuasaan. Dalam pandangan orang Gorontalo, sentralisasi kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah pusat, selain telah melahirkan kesenjangan dan ketimpangan pembangunan di berbagai bidang kehidupan masyarakat antar daerah dan kawasan, dan juga hanya menguntungkan pemerintahan pusat di Jakarta maupun pemerintahan pusat di tingkat provinsi.

Munculnya serangkaian gugatan dari daerah-daerah tingkat II Gorontalo  (sekarang setingkat kota dan kabupaten) yang tertuju pada persoalan pembagian kekuasaan dinilai tidak seimbang karena “pemerintah pusat” lebih dominan, sedangkan daerah-daerah tingkat II tersubordinasikan. Orang Gorontalo yang status  daerahnya berada di daerah tingkat II merasa diperlakukan tidak adil dari segi ekonomi yang ditandai dengan eksploitasi potensi daerah, budaya, dan politik — baik oleh Pemerintah Daerah Tingkat I (Manado) yang di dominasi oleh etnik Minahasa maupun Pemerintah Pusat (Jakarta) yang didominasi oleh etnik Jawa.

Pemerintahan Pasca Orde Baru sangat menyadari bahwa krisis tersebut, tidak bisa diatasi jika tidak menyertakan seluruh komponen bangsa. Untuk itu, pemberdayaan daerah adalah salah satu solusinya, sehingga keluarlah Undang-undang No.22 Tahun 1999 dan Undang-undang No.25 Tahun 1999, yang sering disebut UU Otonomi Daerah. Tujuan undang-undang ini pada hakekatnya mengadakan perbaikan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan menekankan pada prinsip demokrasi, peran-serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi keanekaragaman budaya daerah. Oleh karenaya, lahirnya kedua UU tersebut — seolah-olah telah memberikan spirit bagi orang Gorontalo yang dimotori para mahasiswa asal Gorontalo untuk melakukan gerakan pemisahan diri dari provinsi induknya yaitu Provinsi Sulkawesi Utara.

Diasumsikan bahwa sejumlah faktor telah menjadi penggerak dalam munculnya kesadaran komunitas Gorontalo akan pentingnya sebuah provinsi. Dalam konteks lahirnya propinsi Gorontalo, keyakinan pada aqidah Islam dan pelaksanaan adat yang kental di kalangan masyarakat memiliki peranan penting. Hal itu tercermin misalnya dalam spanduk-spanduk yang berisi kutipan dari Q.S. Arra’du ayat 11: “Sesungguhnya Allah tidak akan merobah nasib suatu kaum hingga kaum itu merubah nasibnya sendiri”. Ayat ini dianggap telah memberikan motivasi pada orang Gorontalo untuk secara teguh memperjuangkan otonomi DRASTIS (Damai, Rasional, Sejuk dan Etis) (Harian Gorontalo, 6/7/2000). Pentingnya Islam dapat pula dilihat dalam penggunaan falsafah yang sangat populer, “Adat bersendikan syara, dan syara bersendikan Kitabullah”.

Gerakan pemisahan diri tidak dapat pula dipisahkan dari proses dominasi Orde Baru yang membatasi kekebasan budaya, dan adat lokal sebagai eksistensi masyarakat adat. Hal ini dapat dilihat pada kebijakan penyatuan daerah-daerah dalam suatu istilah BOHUSAMI (Bolaang Mongondow, Hulontalo, Sangir, Talaud, dan Minahasa) yang bermakna penyeragaman. Istilah Bohusami selama Gorontalo menjadi bagian dari wilayah pemerintahan Provinsi Sulut seolah-olah telah menjadi konsep kebersamaan hidup dalam keberagaman kebudayaan.

Hubungan Gorontalo dengan Pemerintah Pusat

Hubungan antara Gorontalo sebagai daerah Tingkat II dengan Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Utara maupun Pemerintah Pusat menyajikan suatu gambaran unik dalam sejarah politik Indonesia. Kekhasan sejarah dan kebudayaan masyarakatnya menjadikan Gorontalo harus dihadapi oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Utara yang didominasi etnis Minahasa maupun Pemerintah Pusat yang didominasi etnis Jawa terutama pada era reformasi. Secara historis, di satu pihak Gorontalo memiliki catatan sejarah yang panjang tentang perlawanan terhadap Belanda[1] dan bahkan telah menunjukkan upaya integrasi yang kuat dengan wilayah Indonesia lainnya. Kuatnya integrasi ini disebabkan karena pada masa kolonial masyarakat Gorontalo telah berhubungan dengan organisasi-organisasi nasionalis berbagai daerah lain di Nusantara[2]. Sebagai akibat dari hubungan yang mantap antara rakyat Gorontalo dengan organisasi sosial dan politik yang umumnya lahir di pulau Jawa, maka strategi atau siasat perjuangan melalui organisasi sosial dan politik telah melahirkan kesadaran akan pentingnya kemerdekaan. Akhirnya, rakyat Gorontalo memproklamirkan kemerdekaan lebih awal daripada proklamasi 17 Agustus 1945, tepatnya jatuh pada hari Jumat 23 Januari 1942 yang dikenal dengan Peristiwa Merah-Putih[3]. Rakyat Gorontalo yang dipimpin oleh Nani Wartabone mengadakan rapat umum di pusat kota Gorontalo untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia. Nani Wartabone yang bertindak sebagai inspektur upacara di hadapan massa rakyat mengucapkan pidato singkat dengan isi pokok sebagai berikut:

“Pada hari ini tanggal 23 Januari 1942 kita bangsa Indonesia yang berada di sini, sudah merdeka bebas, lepas dari penjajahan bangsa manapun juga. Bendera kita Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah Indonesia Raya, Pemerintah Belanda sudah diambil alih Pemerintah Nasional”.

Isi pidato Nani Wartabone tersebut di atas memperlihatkan bahwa meskipun bangsa Indonesia secara keseluruhan masih harus menunggu kurang lebih tiga tahun lagi untuk memproklamirkan kemerdekaannya, namun rakyat di Gorontalo seolah-olah telah bangkit mewakili bangsanya untuk lepas dari penjajahan. Isi pidato tersebut juga memperlihatkan bahwa loyalitas rakyat Gorontalo akan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak diragukan lagi. Setelah memproklamirkan kemerdekaan, kemudian para pejuang kemerdekaan Gorontalo pun langsung membentuk Pucuk Pimpinan Pemerintah Gorontalo (PPPG) hingga masuknya Jepang di daerah itu[4]. Adanya Pucuk Pimpinan Pemerintah Gorontalo tersebut melambangkan bahwa pemerintahan kolonial telah diambil alih oleh bangsa yang memang berhak menjadi penguasa di daerahnya sendiri. Di pihak lain, perjuangan rakyat Gorontalo dalam masa revolusi nasional[5] hingga munculnya gerakan PRRI/Permesta (1957-1958) sebenarnya merupakan perjuangan yang sangat berarti di mata Pemerintah Pusat. Peranan Gorontalo dalam   memperjuangkan kembali keutuhan wilayah NKRI, seperti tampak pada kasus penolakan Ayuba Wartabone terhadap Negara Indonesia Timur (NIT) dengan pernyataannya yang menyebutkan bahwa “Rakyat Gorontalo sekali ke Yogya tetap ke Jogya, sekali Merdeka tetap Merdeka” di hadapan peserta konperensi NIT di Denpasar pada 22 April 1949. Penolakan rakyat Gorontalo yang diwakili Ayuba Wartabone terhadap NIT sebagai tanda menguatnya keberpihakan Gorontalo kepada Pemerintah Pusat[6]. Pernyataan wakil Gorontalo tersebut tentunya membuat Belanda semakin khawatir karena pada saat yang sama Belanda sedang berusaha meyakinkan dunia internasional bahwa mayoritas rakyat Indonesia, terutama luar Jawa, setia padanya[7]. Kemudian, pada masa Permesta, ketidak-berpihakan etnis Gorontalo pada umumnya, dan bahkan melakukan aksi penentangan terhadap gerakan Permesta sebenarnya telah menciptakan suatu hubungan istimewa — setidak-tidaknya dalam pikiran orang Gorontalo bahwa antara mereka dengan Pemerintah Pusat telah tercipta suatu hubungan yang baik sejak dalam masa revolusi hingga masa munculnya gerakan separatis di Sulawesi yang dipelopori oleh etnis Minahasa. Untuk itu, sebagai bentuk perhatian Pemerintah Pusat terhadap Gorontalo pun berlanjut. Hal ini ditandai dengan adanya bantuan Pemerintah Pusat berupa kehadiran pasukan Operasi Saptamarga II Batalion 512 Brawijaya di Gorontalo pada tanggal 18 Mei 1958[8] untuk membantu pasukan Nani Wartabone dengan “Pasukan Rimba”-nya yang sedang bergerilya dalam rimba Suwawa guna mengusir tentara Permesta dari daerah Gorontalo[9].

Dari sudut pandang politik kekuasaan, hubungan antara Gorontalo dan Jakarta sebetulnya didasarkan pada situasi saling ketergantungan pada periode1942-1949. Bagi Pemerintah Pusat, pentingnya Gorontalo terletak dalam kenyataan bahwa daerah itu benar-benar merdeka dan berada di luar kendali Belanda, di satu pihak. Akan tetapi, Gorontalo dalam pandangan pemerintah kolonial Belanda merupakan daerah periferal, seperti halnya semua daerah di luar Jawa terutama daera-daerah yang terletak di bagian Timur, di lain pihak. Namun demikian, sikap kebencian rakyat Gorontalo terhadap pemerintah kolonial Belanda begitu kuat tampak dengan dibentuknya “Dewan Nasional” pada 5 Nopember 1945 yang memiliki sikap menolak kekuasaan NICA, dan berjuang di bawah panji kebangsaan Merah-Putih dalam lingkungan Pemerintah Republik Indonesia yang berpusat di Jawa[10].

Pentingnya peranan Gorontalo dalam masa revolusi nasional paling tidak telah menunjukkan sikap loyalitas mereka yang besar kepada Republik. Gorontalo yang memperoklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1942, mengandung suatu pengertian bahwa daerah dan segenap masyarakat Gorontalo sangat setia kepada kepemimpinan nasional dan juga keutuhan wilayah NKRI. Untuk kelanjutan perjuangan kemerdekaan tersebut dibentuk pula Pucuk Pimpinan Pemerintah Gorontalo (PPPG) sebagai bentuk pengambilalihan kekuasaan dari tangan penjajah. Kemudian, tidak berpihaknya etnis Gorontalo dan bahkan melakukan aksi penentangan terhadap gerakan Permesta, paling tidak Gorontalo telah menjadi penghambat meluasnya wilayah pengaruh Permesta hingga ke Sulawesi Tengah[11]. Perjuangan-perjuangan tersebut di atas tentunya telah merupakan indikator pentingnya Gorontalo di mata Pemerintah Pusat. Pentingnya peranan Gorontalo dalam masa pergolakan, dalam arti telah memperkuat kemampuan posisi tawar-menawar (bargaining posistion) rakyat Gorontalo kepada Pemerintah Pusat. Kebutuhan akan dukungan rakyat Gorontalo tersebut menyebabkan Pemerintah Pusat memberikan jabatan penting kepada Nani Wartabone selaku tokoh dan pemimpin yang sangat disegani di daerah itu sebagai Kepala Daerah Sulawesi Utara[12] dengan wilayah yang sangat luas karena melingkupi bekas afdeling Gorontalo termasuk Buol dan Bolaang Mongondow, di mana Gorontalo sebagai pusat pemerintahannya. Kemudian, di satu pihak perjuangan Gorontalo menentang kolonial Belanda, para pemimpinnya  sejak awal telah mengaitkan kemerdekaan mereka dengan nasib rakyat dan daerah lainnya yang ada dalam Republik. Sementara, di lain pihak para pemimpin Gorontalo harus pula berhadapan dengan para pemimpin etnis Minahasa yang sedang terlibat dalam gerakan Permesta. Dengan melihat gelagat Nani Wartabone dengan “Pasukan Rimba”nya yang tidak mentolerir atau tidak memperlihatkan keberpihakannya itu, dan bahkan melakukan aksi penentangan terhadap gerakan Permesta, maka para pembesar Permesta dengan sengaja mengadakan Konperensi Kerja Permesta di Gorontalo pada tanggal 20 Januari 1957 yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Permesta seperti Ventje Sumual dan D.J. Somba[13]. Pada konperensi itu, secara sepihak diumumkan pembentukan suatu provinsi baru, yaitu provinsi yang pernah dipimpin oleh Nani Wartabone[14]. Provinsi yang didirikan secara sepihak itu, Permesta mengangkat H. D. Manoppo asal Bolaang Mongondow sebagai gubernurnya, yang sebelumnya adalah pejabat residen-koordinator Sulawesi Tengah[15].

Namun demikian, sifat hubungan antara Gorontalo dan Pemerintah Pusat pada tahun 50-an hanya berlangsung singkat, karena adanya pertentangan pendapat antara Kepala Daerah di satu pihak dan Dewan Pemerintah Daerah (DPD) serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di lain pihak. Pihak DPD dan DPRD memandang bahwa Kepala Daerah Sulawesi Utara impotent dalam keperintahan Daerah Sulawesi Utara, dan  hanya  bertugas  sebagai  administratif  saja. Sedangkan dari pihak Kepala

Daerah Sulawesi Utara masih tetap berpegang kepada surat kawat Acting Gubernur Sulawesi tanggal 9 Oktober 1950. No.35/UDM/DS yang menyatakan bahwa Dewan Sulawesi Utara yang justru telah impotent, dan tidak diakui lagi oleh rakyat, teristimewa oleh daerah-daerah bagian (Gorontalo, Bolaang Mongondow dan Buol). Akhirnya, atas kebijakan politik Pemerintah Pusat, Kepala Daerah Sulawesi Utara, Nani Wartabone digantikan oleh Samadikun, sedangkan Nani Wartabone dipindahkan ke Minahasa[16]. Meskipun demikian, rakyat dan pemimpin Gorontalo masih sangat setia kepada kepemimpinan nasional. Tidak sukar bagi mereka untuk tetap setiap kepada pemerintah Pusat, sebab selain mereka merasa aman dengan situasi dan kondisi yang ada, lagi pula kesetiaan kepada Pemerintah Pusat memang merupakan komitmen mereka sejak memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1942.

Posisi Politik Orang Gorontalo di Manado, 1955-1971

Bila dalam masa revolusi perhatian Pemerintah Pusat lebih ditujukan kepada usaha mempertahankan kemederkaan            , maka dalam masa-masa sesudah penyerahan kedaulatan tampaknya perhatian lebih diarahkan kepada usaha memposisikan partai-partai sebagai sarana rekrutmen tokoh-tokoh partai mendapatkan tempat, dan kalau mungkin tempat yang menentukan dalam kabinet. Hal ini berlaku bagi semua partai, termasuk partai-partai Islam[17]. Di Sulawesi Utara, pemilu tahun 1955 yang dikenal sebagai pemilu yang paling demokratis di Indonesia berhasil mengantarkan seorang tokoh PSSI dari etnis Gorontalo yaitu Jakin Intan Permata menjadi Walikota  Manado. Meskipun pekerjaan tetapnya hanya sebagai tukang pangkas rambut di Manado, namun karena pemilu yang dilaksanakan secara demokratis itu ia dapat menduduki jabatan walikota Manado pada tahun 1955-1958[18]. Terpilihnya J.I. Permata menjadi Walikota Manado merupakan tanda bahwa besarnya dukungan masyarakat Gorontalo pada PSII, baik yang ada di daerah Gorontalo maupun yang berdomisili di Manado. Dukungan tersebut  masih  berlanjut  hingga pemilu pertama di era Orde Baru tahun 1971. Bukti bahwa kuatnya dukungan masyarakat Gorontalo kepada partai ini, Ahmad Husain seorang wartawan surat kabar dari etnis Gorontalo yang juga berdomisili di Manado berhasil pula menduduki jabatan Ketua DPRD Gotong-Royong Provinsi Sulawesi Utara sejak tahun 1967 hingga 1971[19].

Suatu hal yang sangat menarik adalah, pada saat menjelang Permesta berakhir dimana masa Demokrasi Terpimpin juga sedang berlangsung keluarlah surat “Penetapan Presiden” No.29 Tahun 1959 dari Presiden Soekarno yang berisi tentang penugasan Arnold. A. Baramuli, putra daerah Sangir Talaud yang sedang bertugas sebagai jaksa Departemen Dalam Negeri untuk menduduki jabatan Gubernur Sulawesi Utara-Tengah (Sulutteng)[20]. Dikeluarkannya surat “Penetapan Presiden” tersebut berarti wilayah Daerah Keperintahan Sulawesi Utara (DKSU) yang meliputi Gorontalo, Bolaang Mongondow dan Buol, dan wilayah daerah bagian Utara Provinsi Sulawesi (Minahasa dan Sangir Talaud) telah disatukan Pemerintah Pusat menjadi sebuah provinsi. Dalam mengemban tugasnya, Baramuli sadar bahwa daerah provinsi baru yang dipimpinnya itu masih rawan dan bergejolak maka setiap kali ia mengangkat pejabat di daerah itu selalu mempertimbangkan segi etnis dan aliran politik[21].

Ditariknya Baramuli kembali Jakarta pada bulan Juni 1962, adalah awal dan terakhir kalinya bagi etnis Sangir Talaud diberi kesempatan untuk menjadi gubernur di Provinsi Sulawesi Utara oleh Pemerintah Pusat dengan sistem politiknya yang disebut dengan Demokrasi Terpimpin. Lepas dari situasi dan kondisi politik yang terjadi di Pusat maupun di daerah, namun hal ini menunjukkan bahwa periode Demokrasi Terpimpin yang sering disebut sebagai era pemerintahan yang bertentangan dengan alam demokrasi atau lebih dikenal dengan otoriterianisme itu justru merupakan era yang pernah menempatkan etnis minoritas di provinsi Sulawesi Utara menjadi gubernur definitif. Sebab, setelah Baramuli tidak ada lagi etnis minoritas lainnya di kawasan itu (misalnya orang Gorontalo, Bolaang Mongondow, Sangir dan Talaud) yang mendapatkan kesempatan untuk menduduki jabatan gubernur definitif, hingga era kabinet Gotong-royong di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri.

Memasuki tahun 1963 hingga 1965 di mana tahun ini menurut Herbert Feith merupakan fase terjadinya polarisasi dalam Demokrasi Terpimpin yang pada saatnya justru menimbulkan konsekuensi yang lebih dahsyat dibandingkan dengan polarisasi akhir masa Demokrasli Liberal[22], — Pemerintah Pusat mengangkat F.J. Tumbelaka dari etnis Minahasa berpangkat Letnan Kolonel, yang pernah menjadi perunding utama mewakili TNI dengan kaum pemberontak Permesta pada tahun 1960-1961, sebagai Gubernur Provinsi Sulawesi Utara sejak 15 Juli 1962 hingga 19 Maret 1965[23].

Dengan berakhirnya kekuasaan Soekarno melalui Surat Perintah 11 Maret 1966, maka habis pula masa sistem politik yang konon otoriter dengan Demokrasi Terpimpinnya itu. Orde Baru yang merupakan implementasi dari aliansi ABRI, terutama Angkatan Darat sebagai aktor utama dengan kaum teknokrat sebagai aktor pendamping  tampil  ke pentas  politik. Tampilnya Orde Baru telah menggeser sistem politik Indonesia yang otoriter ke sistem demokrasi liberal kembali yang namanya dikenal dengan sistem politik Orde Baru[24]. Pada mulanya Orde Baru memulai dengan langkah demokratis di bidang politik dan berusaha memberikan kepuasaan di bidang ekonomi[25]. Kebijakan di bidang politik Orde Baru di Provinsi Sulawesi Utara ditandai dengan munculnya nama Abdullah Amu beretnis Gorontalo dari kalangan TNI-AD sebagai penjabat gubernur (27 April 1966 – 01 Maret 1967) setelah menggantikan penjabat sebelumnya yaitu Sunandar Prijosudarmo sejak 18 Maret 1965 hingga 26 April 1966[26].

Periode Orde Baru: Langkanya Jenderal Orang Gorontalo

Langgam pluralistik pemerintah Orde Baru masih tampak ketika mengangkat Letkol Rauf MoO beretnis Gorontalo[27] menjadi Walikota Manado sejak 1966 hingga 1971 yang meskipun Rauf MoO adalah seorang anggota TNI-AD yang juga pernah ikut menandatangani Piagam Permesta di Makassar. Menurut hemat penulis, pengangkatan ini karena selain Pemerintah Pusat ingin menunjukkan bahwa kecurigaan terhadap para anggota TNI yang pernah terlibat dalam gerakan Permesta tidak lagi dipersoalkan, karena membutuhkan legitimasi dari semua elemen, dan juga karena ini merupakan strategi pemerintah Orde Baru untuk mencari bentuk pemantapan legitimasi.

Namun demikian, Pemerintah Pusat tampaknya lebih percaya kepada seorang jenderal TNI-AD dari etnis Minahasa yang tidak pernah terlibat dalam gerakan Permesta untuk menduduki jabatan gubernur di Provinsi Sulawesi Utara. Untuk itu Jenderal Soeharto memilih Brigjen TNI H.V. Worang[28]. Begitu kuatnya kepercayaan Soeharto terhadap Worang sehingga ia dapat menduduki jabatan tersebut hingga dua periode yaitu sejak 2 Maret 1967 hingga 19 Juni 1978. Lebih dari separoh masa jabatan Worang dijalaninya maka lahirlah UU. No.5 Tahun 1974 “Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah”. Undang-undang ini lebih membuat pola hubungan kekuasaan antara Gorontalo dengan Pemerintah Pusat semakin terasa “renggang”. Sebab, Gorontalo tidak lagi secara leluasa dapat mengartikulasikan semua kepentingannya, termasuk di dalamnya masalah kewenangan untuk mengatur daerahnya.

Ketika era baru politik Indonesia dimulai dengan menampilkan militer  sebagai  pelaku utama dan kaum teknokrat sebagai pelaku pendamping tampil ke pentas perpolitikan di Indonesia maka tamatlah kedekatan hubungan antara Gorontalo dan Pemerintah Pusat. Konsolidasi kekuasaan oleh Pemerintah Pusat dan orang-orang Minahasa, baik dari kalangan TNI maupun cerdik pandai di Jakarta dan Manado mengakhiri hubungan yang telah ada antara Pemerintah Pusat dengan elit Gorontalo. Hal ini mungkin disebabkan karena antara lain; Di satu sisi, langkanya perwira tinggi TNI-AD asal Gorontalo di Jakarta yang bisa direkrut oleh Soeharto, dan juga karena kalangan cerdik pandai Gorontalo sendiri lebih banyak yang memilih bekerja di  daerah yang lebih menjanjikan ketimbang di daerahnya sendiri yang masih tergolong miskin ketika itu. Sedangkan di sisi lain, Presiden Soeharto[29] memang menghendaki perwira-perwira tinggi TNI-AD dari etnis Minahasa yang dianggap loyal kepadanya untuk diangkat menjadi gubernur Sulawesi Utara[30]. Sebab, dengan mengangkat perwira tinggi dari etnis Minahasa paling tidak bisa mengobati rasa kekecewaan mereka terhadap Pemerintah Pusat pada masa lalu, sementara etnis Gorontalo tidak terlalu dipikirkan oleh Pemerintah Pusat, karena di mata Pemerintah Pusat etnis ini tidak diragukan lagi loyalitasnya, baik kepada pemimpin nasional maupun NKRI.

Namun demikian, masyarakat Gorontalo pada masa awal Orde Baru tampak tidak merasa diabaikan baik oleh Pemerintah Daerah Tingkat I maupun Pemerintah Pusat, karena strategi pembangunan ekonomi yang diterapkan Pemerintah Orde Baru melalui program Repelitanya langsung dirasakan manfaatnya. Pembangunan di bidang infrastruktur, kependudukan, pendidikan dan kebudayaan serta pengelolaan sumber daya alam Gorontalo yang cukup baik sehingga menempatkan daerah ini sebagai daerah percontohan di Sulawesi Utara[31].

Strategi pembangunan yang memberikan prioritas utama bagi pemulihan roda perekonomian oleh Pemerintah Pusat di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto, benar-benar dirasakan manfaatnya oleh daerah-daerah luar Jawa pada umumnya, dan  Gorontalo pada khususnya. Keadaan infrastruktur seperti pembangunan irigasi, perlistrikan, pengangkutan dan kominikasi, serta pendidikan dasar dan menengah sejak akhir dasawarsa 70-an menjadi lebih baik dibandingkan dengan sepuluh tahun sebelumnya. Oleh karenanya, afiliasi politik masyarakat Gorontalo yang tadinya di PSII, PNI, NU, dan Parmusi umumnya dengan mudah beralih ke Golkar seperti tampak pada hasil pemilu tahun 1977. Perbedaan-perbedaan latar belakang historis, sosial-politik dan kultural antara etnis Gorontalo yang minoritas di satu pihak dan etnis Minahasa yang mayoritas baik dalam stuktur pemerintahan (birokrasi) maupun dalam organisasi Golkar di lain pihak, tampak masih belum dipersoalkan.

Munculnya Kesadaran Batas Budaya dan Politik

Seiring dengan kemajuan yang telah dicapai dalam berbagai bidang, muncul pula kesadaran tentang batas-batas budaya (cultural boundaries) pada komunitas akademika IKIP Negeri Manado Cabang Gorontalo pada tahun 1980-an. Penulisan latar belakang sejarah perjuangan rakyat di daerah Gorontalo oleh komunitas akademika di Gorontalo yang bekerjasama dengan Yayasan 23 Januari 1942 di Jakarta[32] merupakan awal munculnya kesadaran tentang batas-batas budaya masyarakat tersebut[33] dalam era Orde Baru. Kesadaran ini semakin dipertegas ketika setelah beberapa tahun kemudian, dan terbitnya buku sejarah perjuangan rakyat Gorontalo, IKIP Negeri   Manado   Cabang   Gorontalo   memilih   memisahkan   diri   dari induknya, Universitas Samratulangi Manado[34].

Ketika Letjen TNI-AD G.H. Mantik menjabat gubernur provinsi Sulawesi Utara, ia menelorkan sebuah konsep atau slogan kesatuan regional di daerah itu yaitu suatu kebijakan penyatuan daerah-daerah dalam suatu istilah Bohusami[35] (Bolaang Mongondow, Hulontalo, Sangir, Talaud, dan Minahasa) yang bermakna penyeragaman. Istilah Bohusami dalam masyarakat Sulawesi Utara seolah-olah telah menjadi konsep kebersamaan hidup dalam keberagaman kebudayaan di daerah tersebut. Oleh karenanya, van Paassen[36] melihat hubungan kerjasama dan realitas kehidupan antar pemeluk agama di antara beberapa kelompok etnis yang ada di daerah Sulawesi Utara ini berjalan relatif baik. Slogan “Bohusami” ini terus dipelihara sehingga sedemikian akrab dengan masyarakat Sulawesi Utara.

Pada saat Mayjen TNI-AD C.J. Rantung menjabat gubernur provinsi Sulawesi Utara (1985-1995), orang Gorontalo memandangnya bahwa, selain ia terlalu mementingkan kelompok-kelompok tertentu dalam kebijakan-kebijakannya, dan juga banyak kawan maupun lawan politik Rantung memanfaatkan sisi kelemahannya. Meskipun banyak kritikan menyangkut nepotisme ditujukan kepadanya karena dinilai terlalu banyak pejabat eksekutif maupun anggota legislatif adalah kliennya sehingga melahirkan istilah Rantungisme, namun kritikan-kritikan tersebut tidak dapat menggoyahkan posisinya. Kuatnya posisi Rantung di daerah tidak lain karena selain jabatan gubernur sekaligus sebagai ketua pertimbangan Golkar di daerah, dan juga karena ia didukung oleh Pemerintah Pusat, serta hubungan kedekatannya dengan Jenderal Tri Sutrisno[37].

Slogan kesatuan regional yang menyangkut kebijakan penyatuan daerah-daerah yang dicetuskan Mantik, kemudian dilanjutkan dengan slogan “Torang Samua Basudara” oleh gubernur Sulawesi Utara, Letjen TNI-AD, E.E. Mangindaan pada awal pemerintannya yaitu 1995. Slogan ini juga mendapat tempat di hati masyarakat Sulawesi Utara pada umumnya karena, selain gaya kepemimpinan Mangindaan yang terkesan dekat dengan rakyat di semua lapisan, dan juga mungkin karena konsep “Kita Semua Bersaudara” itu merupakan doktrin kemaunusiaan yang universal. Kehadiran konsep tersebut pada saat yang bersamaan munculnya gejala disintegrasi bangsa Indonesia.

Penutup

Gorontalo yang dikenal sebagai daerah dan masyarakatnya yang masih kental dengan adat-istidat yang berlandaskan pada ajaran Islam, terkesan begitu toleran selama  kurang  lebih 30 tahun  daerah provinsi Sulawesi Utara  dipimpin  oleh  orang-orang Minahasa yang notabene berlainan agama dengan orang Gorontalo. Pada hal, secara sosio-historis, masyarakat di daerah ini memandang bahwa mereka  idealnya di pimpin oleh orang Gorontalo sendiri yang sekaligus mampu mengimplementasikan nilai-nilai adat dan agama yang mereka anut.

Tatkala era Orde Baru berakhir maka masa reformasi pun melakukan perubahan sistem politik nasional, dengan menelorkan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah untuk menggantikan Undang-undang No.5 tahun 1974 yang dinilai sangat sentarlistik itu. Masyarakat Gorontalo menilai Undang-undang No.5 Tahun 1974 telah melahirkan kesenjangan yang sangat tinggi antara  daerah  otonom tingkat yang lebih rendah  dengan daerah otonom tingkat yang lebih tinggi. Pada kenyataannya, mereka merasa dianak-tirikan dengan status daerahnya sebagai wilayah pemerintahan daerah tingkat II. Selain mereka menganggap bahwa  pembangunan sangat terkonsentrasi di wilayah ibukota (Manado dan Jakarta), dan juga merasa bahwa nilai-nilai budayanya dimanipulasi untuk penataan sosial secara sepihak oleh kelompok etnis yang berkuasa. Hal ini menimbulkan rasa kedaerahan yang kuat kemudian mengarahkan rakyat pada sebuah gerakan pemisahan diri dengan tuntutan pembentukan Provinsi Gorontalo.

Daftar Bacaan

Ali, Fahri dkk.

1998    Gobel Budaya dan Ekonomi, Tentang Wirausaha, Manajemen, dan Visi Industri Thayeb Mohammad Gobel, Jakarta: LP3ES.

Amal, Ichlasul

1993    Dimensi Politik Hubungan Pusat-Daerah: Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan, dalam Hubungan Pusat-Daerah dalam Pembangunan (eds.) Colin MacAndrews & Ichlasul Amal, Jakarta: Rajawali Press.

Barbara, Harvey Sillars.

1989    Permesta: Pemberontakan Setengah Hati. Jakarta: PT. Pustaka Utama. Barth, Fredrick

1988    Ethnic  Group  and  Boundaries. Boston : Little Brown.

Bastian, J

1985    Persekutuan Limboto dan Gorontalo, dalam Sejarah Lokal di Indonesia, T. Abdullah (ed.), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Brown, David

1994    The State and Ethnic Politics in Southeast Asia, London and New York: Routledge.

Crawford, Beverly & Ronnie D. Lipschutz

1998    The Myth of  “Ethnic Conflict”: Politics, Ekonomics, and “Cultural” Violence. Berkeley: University of California.

Damis, Mahyudin

1999    Taptu-Hijrah di Kalangan Kaum Muda  Islam  Manado, Sulawesi Utara : Sebuah interpretasi. Tesis  Magister, UGM Yogyakarta.

Geertz, Clifford.

1972    “The Politics of  Meaning” dalam Culture and Politics in Indonesia, Claire Holt (ed.), Cornell University Press. Hal: 324.

Gurr, Robert Ted

1991    Why Man Rebel ?. New Jersey: Princenton University Press.

1993    Minorities at Risk: A Global View of Ethnopolitical Conflicts. Washington DC: United States of Peace Press.

Haga, B.J

1981    Lima Pahalaa: Susunan Masyarakat Hukum Adat dan Kebijaksanaan Pemerintahan di Gorontalo, karangan terjemahan Koninklijk Instituut voor Taal, Landen Volkenkunde (KITLV) bersama LIPI. Jakarta: Jambatan.

Henley, David.E.F.

1992    Nationalism and Regionalism in a Colonial Context: Minahasa in the Dutch East Indies. Tesis PH.D, Australian National University, Canberra.

Koentjaraningrat

1982    “Lima  Masalah  Integrasi Nasional” dalam Koentjaraningrat (ed.),  Masalah-Masalah  Pembangunan : Bunga  Rampai  Antropologi  Terapan. Jakarta : LP3ES.

Komite Pusat Pembentukan Provinsi Gorontalo (KP3GTR)

2000    Proposal Kelayakan Provinsi Gorontalo. Jakarta: Naskah ketik.

Mahfud MD, Mohammad

2000    Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000, hlm.

Mas’oed, Mohtar

1988    “Peranan Ilmu Politik dalam Memantapkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa Ditinjau dari Bidang Ekonomi Politik”, dalam Perkembangan Ilmu Politik di Indonesia.

Nur, Samin Radjik

1979    Beberapa Aspek Hukum Adat Tatanegara Kerajaan Gorontalo Pada Masa Pemerintahan Eato (1973-1679), Ujuangpandang: Unhas.

Nurdin, Hardi

2000    Sang Deklarator: Nelson Pomalingo dalam Sepenggal Sejarah Pembentukan Provinsi Gorontalo, Gorontalo: Presnas Publishing.

Paasen,Y.van

1982    Kerjasama Antar Agama dan Prospeknya: Kasus Sulawesi Utara, dalam Masalah-masalah pembangunan: Bunga Rampai Antropologi Terapan, Koentjaraningrat (ed.). Jakarta: LP3ES.

Pemda Kabupaten Dati II Gorontalo & FKIP Unsrat di Gorontalo

1985    Empat Aspek Adat Daerah Gorontalo, (Peny.) Abdussamad, K dkk. Jakarta: Yayasan 23 Januari 1942.

Pengurus Besar Himpunan Pelajar Mahasiswa Indonesia Gorontalo (PB.HPMIG)

2000    Hasil-hasil Musyawarah Besar V HPMIG. Gorontalo: Naskah ketik.

Presidium Nasional Pembentukan Provinsi Gorontalo/Tomini Raya.

2000    Profil Provinsi Gorontalo, Gorontalo: Naskah ketik.

Scott, James

1990    Domination  and  the  Arts of Resistance : Hidden  Transcripts, New Haven & London : Yale  University Press.

Tacco, Richard

1956    Kebudayaan Suku Bangsa Gorontalo, Gorontalo: Tomiyahu Kebudayaan Lo Lipu.

Tim Teknis Penyusunan Data Kelayakan Provinsi Gorontalo, et,al.

2000   DataKelayakan Provinsi Gorontalo, Kodia Gorontalo: Naskah ketik.

Tim Yayasan 23 Januari 1942 & IKIP Negeri Manado Cabang Gorontalo.

1881    Perjuangan di Daerah Gorontalo Menentang Kolonialisme dan Mempertahankan Negara Proklamasi, Jakarta: PT.Gobel Dharma Nusantara, 1981.

Wantu, Sastro M.

1994    Pola Rekrutmen Elite Politik Golkar di Sulawesi Utara, Tesis S2 Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta.

Wartabone, Nani

1968    Sejarah Singkat Perebutan Kekuasaan Terhadap Pemerintah Kolonial Belanda tanggal 23 Januari 1942. Panitia Peringatan Peristiwa 23 Januari 1942 ke 31, Suawawa.

Young, Crawford

1996,      The Political of Cultural Pluralism, Madison, University of Wisconsin Press.


[1] Catatan sejarah lokal Gorontalo menunjukkan bahwa perlawanan rakyat Gorontalo terhadap Belanda telah dilakukan sejak Raja Eato berkuasa di kerajaan Gorontalo (1673-1679), kemudian dilanjutkan oleh Raja-raja sesudahnya seperti Raja Bia (1681), Raja Botutihe (1728-1755), Raja Iskandar Monoarfa (1758-1777), Raja Bumulo II (1831), Raja Abdurrahman di Limboto (1855), Raja Wartabone (1849), Raja Mustapa di Boalemo (1855), dan perang Panipi (1872,1874). Lihat Tim Yayasan 23 Januari 1942 bekerjasama dengan IKIP Negeri Manado Cabang Gorontalo, Perjuangan di Daerah Gorontalo Menentang Kolonialisme dan Mempertahankan Negara Proklamasi, Jakarta: PT.Gobel Dharma Nusantara, 1981.

[2] Sejak berdirinya Organisasi Budi Utomo, hanya dalam waktu singkat telah muncul beberapa organisasi di Gorontalo seperti Sinar Budi dan Sarikat Islam. Penganjur SI terkenal di Gorontalo adalah Karel Panamo dan Jusuf Sabah. Mereka pernah mengundang HOS Tjokroaminoto berkunjung ke Gorontalo pada tahun 1923. Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Mohammad Yusuf Anis juga pernah bekunjung ke Gorontalo pada 18 Nopember 1928 atas undangan Jusuf Otoluwa seorang siswa sekolah guru di Jakarta. Oleh karenanya, ia menjadi salah seorang pendiri cabang Muhammadiyah di Gorontalo. Sebagai organisasi sosial yang berlandaskan Islam maka kegiatan-kegiatannya melalui dakwa dan pendidikan. Nahdatussyafiiyah masuk ke Gorontalo pada tahun 1935 atas inisiatif Salim Bin Djindan. Sasaran Nahdatussyafiiyah antara lain menegakkan ajaran agama Islam melalui pendidikan dan gerakan sosial. Sedangkan partai politik pertama yang masuk di Gorontalo pada masa kolonial adalah Partindo (Partai Indonesia), yang  didirikan oleh Nani Wartabone dkk setelah PNI dibubarkan. Tokoh Partindo yang pernah berkunjung di daerah ini adalah Mr. Iskak Tjokrohadisurjo atas undangan para pendiri cabang partai tersebut. Kemudian, Partai Arab Indonesia (PAI) didirikan oleh A.R. Baswedan pada 4 Oktober 1934 di Semarang oleh Abdullah Djibran seorang pedagang keturunan Arab dari daerah tersebut mendirikan cabang PAI di Gorontalo pada tahun 1937. Persatuan Islam (PERSIS) yang berpusat di Bandung, oleh A.R. Ointu mendirikan cabangnya di Gorontalo. Gerakan Pemuda; para pelajar asal Gorontalo mendirikan organisasi pemuda di Tondano yang diberi nama Jong Gorontalo pada tanggal 15 Mei 1928, dan di Makassar para pemuda asal Gorontalo mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB) dan pernah mengadakan konperensi di Yogyakarta pada tahun 1931. Lihat Tim Yayasan 23 Januari 1942, Op.cit., 1981, hlm.34-39.

[3] Data mengenai Peristiwa Merah-Putih di Gorontalo lihat Kementerian Penerangan Republik Indonesia, Provinsi Sulawesi, Makassar: Djawatan Penerangan RI. 1953., hlm. 204; lihat juga Tim Yayasan 23 Januari 1942, Op.cit., 1981; L. Th. Manus, dkk., Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara. Manado, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan; Ibrahim Polontalo, Sejarah Peristiwa 23 Januari 1942. Gorontalo. 1978., hlm. 10; A.L. Massa, Mengenang Peristiwa 23 Januari 1942 di Gorontalo. Gorontalo: naskah ketik, t.t., hlm.6.

[4] Tim Yayasan 23 Januari 1942, Op.cit., hlm.47-48.

[5] Pada tanggal 5 Nopember 1945 di Gorontalo didirikan suatu badan bernama “Dewan Nasional”. Pada rapat pembentukannya, selain menetapkan bahwa dewan ini bertugas merancang urusan pembangunan negara dan Kepala Daerah, dan juga menetapkan sikap Dewan Nasional sebagai berikut: 1. Menolak kekuasaan NICA, 2. Bekerja dan berjuang di bawah panji kebangsaan Merah Putih dalam wilayah Pemerintah RI yang berpusat di Jawa, 3. Bekerja bersama-sama dengan tentara sekutu dalam menjaga keamanan dan ketentraman pembangunan dunia baru. Suara Nasional, tanggal 6 Nopember 1945 terbit di Gorontalo dalam Tim yayasan 23 Januari 1942, Op.cit., hlm.60.

[6] Ayuba Wartabone adalah adik kandung Nani Wartabone yang diutus sebagai  wakil pamongpraja daerah Gorontalo. Ibid, hlm.73.

[7] Lihat, Ichlasul Amal, Dimensi Politik Hubungan Pusat-Daerah: Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan, dalam MacAndrews. C. & Amal. I. (eds.) Hubungan Pusat-Daerah Dalam Pembangunan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000, hlm. 140.

[8] Gerakan pembersihan oleh pasukan RI di daerah Gorontalo berjalan lancar disebabkan karena adanya dukungan sepenuhnya dari rakyat Gorontalo. Diantara anggota Detasemen I Batalion 715 banyak putra-putra daerah Gorontalo yang dilibatkan dalam operasi tersebut. Bahkan Komandan Detasemen I yang beroperasi itu adalah putera daerah Gorontalo, yaitu Kapten Piola Isa. Lihat Tim Yayasan 23 Januari 1942, Op.cit., hlm.76.

[9] Ibid., hlm. 60.

[10] Ibid.

[11] Rencana Permesta untuk memperluas wilayah pengaruhnya hingga ke Sulawesi Tengah yang ditandai dengan menugaskan Somba mengunjungi daerah itu lihat. Harvey Sillars Barbara, Permesta: Pemberontakan Setengah Hati. Jakarta: PT. Pustaka Utama, 1989, hlm.

[12] Untuk wilayah Minahasa dan Sangir Talaud pada saat itu disebut Wilayah Utara Provinsi Sulawesi. Pada tanggal 1 Maret 1951, R.M. Koesno Danupojo, tokoh nasionalis yang juga berperan dalam peristiwa 23 Januari 1942 di Gorontalo diberi jabatan oleh Pemerintah Pusat sebagai Koordinator Pemerintahan di Wilayah Utara Provinsi Sulawesi yang melingkupi daerah-daerah Sangir Talaud, Minahasa. Lihat Kementerian Penerangan Republik Indonesia Provinsi Sulawesi, Op.cit, hlm.180.

[13] Lihat. Harvey Sillars Barbara, Op.cit.,1989, hlm. 94.

[14] Pemerintah Pusat hanya bersikap dingin terhadap penyerobotan kekuasaannya dengan pembentukan sebuah provinsi secara sepihak oleh Permesta di Sulawesi Utara, walaupun sudah mengumumkan rencannya untuk membagi Sulawesi menjadi dua provinsi pada bulan Januari 1956. Ibid., hlm. 97.

[15] Ibid., hlm. 94.

[16] Lihat Kementerian Penerangan Republik Indonesia Provinsi Sulawesi, Op.cit, hlm.191.

[17] Keadaan rupanya berkembang sedemikian rupa sehingga bukannya kedudukan bertambah kuat, melainkan akhirnya banyak partai asal memperoleh tempat saja dalam kabinet. Lihat, Deliar Noor, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1987, hlm.197.

[18]Wawancara dengan beberapa anggota Serikat Islam di Kelurahan Ketang Baru Manado, berkaitan dengan informasi tentang  J.I. Permata sebagai walikota Manado yang ke 6, dan lihat Monografi Kota Manado, 2000.

[19] Wawancara dengan Ahmad Husain, mantan ketua DPRD Gotong-Royong Provinsi Sulawesi Utara, dan Saleh Mohammad, ketua Dewan Pimpinan Wilayah PSII Sulawesi Utara, masing-masing pada bulan September 2001 di Manado.

[20] Menurut Baramuli, Presiden Soekarno menunjuk dia sebagai gubernur Sulawesi Utara-Tengah pada saat itu tidak lain untuk mengamankan daerah tersebut dari pengaruh tokoh-tokoh Permesta di daerah tersebut. Baramuli menjabat gubernur Sulawesi Utara-Tengah (23 Maret 1960 – 14 Juli 1962). Lihat Yulius Pour, Baramuli Menggugat Politik Zaman, Jakrta: Pustaka Sinar Harapan, 2000, hlm.186. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.29 tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi, maka Daerah Sulawesi Utara yang tadinya ditetapkan oleh PP No.11/1953, kini dipisahkan menjadi dua Daerah Tingkat II yaitu daerah Kotapraja Gorontalo dan Daerah Tingkat II Kabupaten Gorontalo. Berhubung adanya pergolakan PRRI/Permesta, maka Kotaparaja Gorontalo baru dapat diresmikan pada tanggal 20 Mei 1960 oleh Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Utara Tengah. Lihat, The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Di Negara Republik Indonesia, Jilid 1.2, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1993.

[21] Misalnya ketika Baramuli menunjuk Buapti Ticoalu sebagai Residen, kemudian Nani Wartabone sebagai Residen Koordinator Sulawesi Utara, dan Koesno Danupojo sebagai Residen Koordinator Sulawesi Tengah. Di samping itu, Baramuli juga sadar bahwa pengaruh partai-partai politik setempat masih sangat kuat maka ia mengangkat No Ticoalu karena ia adalah anggota PNI. Ia juga sengaja melengkapinya dengan mengangkat Kartawinata dari PSII agar bisa lebih memperkuat posisinya. Nantinya, dengan komposisi pemerintah daerah semacam itu, Baramuli menyebutnya bersifat “Bhinneka Tunggal Ika”, maka kestabilan pemerintah di Sulawesi Utara-Tengah bisa lebih terjamin. Lihat Yulius Pour, Op.cit., hlm.186.

[22] Lihat Herbert Feith, The Declaine of Constitutional Democracy in Indonesia. Cornell University Press, fourth printing, Ithaca and London: 1973, hlm. 42.

[23] Hubmas Setwilda Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, 2000.

[24] Lihat Mohammad Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000, hlm.

[25]Lihat Mohtar Mas’oed, Peranan Ilmu Politik dalam Memantapkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa Ditinjau dari Bidang Ekonomi Politik, dalam Perkembangan Ilmu Politik di Indonesia, 1988, hlm.321-322.

[26] Munculnya, dua nama perwira tinggi TNI-AD yang berasal dari P.Jawa seperti  S. Prijosudarmo dan Erman Harirustaman (2 Oktober 1978-2 Maret 1980) sebagai penjabat gubernur Sulawesi Utara, karena Pemerintah Pusat belum menemukan putra daerah (Bohusami) khususnya etnis Minahasa yang lebih tepat untuk menduduki jabatan tersebut. Lihat Mahyudin Damis, Taptu Hijrah di Kalangan Kaum Islam Manado: Sebuah Interpretasi. Teisi S2, Program Studi Antropologi Universitas Gadjah Yogyakarta, 1999, hlm. 158.

[27]Rauf MoO satu-satunya anggota TNI AD dari tiga beretnis Gorontalo yang ikut menandatangani Permesta di Makassar, lainnya adalah sipil yaitu A. Hadjoe dan Hasan Usman. Lihat Harvey S. Barbara, Op.cit., hlm.223.

[28]Hubungan kedekatan antara Soeharto dan Worang tercipta ketika, setelah pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kawilarang dapat mengatasi perlawanan pemerintah NIT terhadap pendaratan satuan-satuan TNI, dimana batalion Worang bergerak dari Makassar ke Sulawesi Utara, kemudian mengambil bagian dalam penyerangan perhadap Ambon yang dipimpin oleh Soeharto, pada bulan September 1950.

[29]Tidak sulit bagi Soeharto untuk mencari perwira-perwira tinggi TNI dari kalangan etnis Minahasa karena jumlah mereka memang lebih banyak jika dibandingkan dengan etnis-etnis lainnya di Sulawesi Utara. Secara historis, hal ini disebabkan karena pengaruh dari karya zending yang membuka jalan untuk penerimaan secara luas bagi orang-orang Minahasa terhadap pendidikan sekuler yang diperkenalkan pada akhir abad ke-19. Lihat David.E.F. Henley., Nationalism and Regionalism in a Colonial Context: Minahasa in the Dutch East Indies. Tesis PH.D, Australian National University, Canberra, 1992.

[30]Setelah etnis Minahasa memanfaatkan peluang untuk mendapatkan pendidikan sekuler dengan baik, maka kalangan penduduk Minahasa yang berusia muda dengan mudah beradaptasi dengan sistem kolonial (di samping memang seagama (Protestan) dengan pihak Belanda) untuk menempati fungsi-fungsi tentara dan pekerja kantor di perusahan-perusahan besar seperti BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij), KPM (Koninklijke Paketvaart Matscchappij) dan berbagai perkebunan di Jawa dan Sumatera. Ibid.., hlm.72.

[31]Bukti bahwa berhasilanya rakyat Gorontalo dalam membangun daerahnya, Pemerintah Pusat menganugerahkan Prasamya Purna Karya Nugraha untuk Kabupaten Gorontalo1979/1980 dan Pemenang Pertama Lomba Insus tingkat nasional pada musim tanam tahun 1980/1981 untuk Kotamadya GorontaloLihat Tim Yayasan 23 Januari 1942, Op.cit., hlm.77.

[32]Menurut Ir.Ary Muchtar Pedju, M.Arch, selaku Ketua Harian Yasayasan 23 Januari 1942 bahwa yayasan ini didirikan oleh masyarakat asal Gorontalo yang berada di Jakarta. Salah satu usaha dari yayasan tersebut adalah memperjuangkan untuk diakuinya peristiwa 23 Januari 1942. Padahal peristiwa ini telah ditulis dalam buku Kementerian Penerangan RI, Provinsi Sulawesi, tahun 1952 Lihat, kata pengantar Ir. Ary Muchtar Pedju, M.Arch, selaku Ketua Harian Yasayasan 23 Januari 1942, dalam Tim Yayasan 23 Januari 1942, Op.cit., hlm.i.

[33]Sejak tahun 1960-an dan bahkan hingga saat ini, image orang luar daerah Sulawesi Utara mengenal penduduk asli daerah provinsi Sulawesi Utara adalah orang Manado yang dikenal sebagai etnis Minahasa. Untuk itu, orang Gorontalo merasa perlu menegaskan kembali batas-batas budaya dan wilayah teritorialnya sebagai bagian dari warga Sulawesi Utara. Hal ini terlukiskan dalam buku berjudul ”Perjuangan Rakyat di Daerah Gorontalo, Menentang Kolonialisme dan Mempertahankan Negara Proklamasi: Latar belakang Sejarah Gerakan Patriotik 23 Januari 1942 dan Kaitannya Dalam Mencapai/Mempertahankan Proklamasi kemerdekaan RI. 1982.

[34]Sensus tahun 1930 memperlihatkan bahwa dari 539 sekolah dasar yang disponsori pemerintah kolonial yang tersebar di seluruh Indonesia, tidak kurang dari 74 ditemukan di Minahasa. Hal ini merupakan penjelasan atas fakta bahwa pada tahun 1930 Minahasa menempati tingkat melek huruf tertinggi di Kepulauan Indonesia. Menurut sensus itu presentasi melek huruf untuk daerah ini adalah 38,92%, dibandingkan dengan Maluku tengah sebesar 21,34%, Sumatera Barat 9,62% atau Jawa dan Madura hanya 5,48%. Lihat David Henley, Op.cit., hlm.73.

[35]Istilah Bohusami ini pertama kali diperkenalkan dan dipopulerkan oleh Letjen. G.H. Mantik  beretnis Minahasa ketika menjabat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Utara (3 Maret 1980 – 3 Maret 1985). Bohusami adalah singkatan dari keempat nama daerah dan suku-suku bangsa yang ada di daerah tingkat II seperti; singkatan (Bo) untuk Bolaang Mongondow (Hu) untuk Hulandalao (penggunaan dialek lokal Gorontalo) atau Gorontalo, (Sa) untuk Sangir dan Talaud, dan (Mi) untuk Minahasa. Keempat daerah dan etnis tersebut hampir memiliki kesamaan budaya, khususnya dalam budaya gotong royong. Misalnya budaya gotong royong pada masyarakat Bolaang Mongondow dikenal dengan moposad, Gorontalo dikenal dengan huyula, Sangir dan Talaud dikenal dengan mapaluase, dan Minahasa dikenal dengan mapalus. Namun demikian, menurut sebagian ahli ilmu sosial di Sulawesi Utara bahwa akronim tersebut dapat berimplikasi negatif bagi warga atau etnis-etnis lainnya yang juga merasa sebagai penduduk asli daerah Sulawesi Utara, karena tidak merasa terwakili dalam akronim tersebut. Mereka yang dimaksud antara lain, orang Bantik, orang Talaud, orang Mongondow, orang Jawa-Tondano, orang Jawa-Gorontalo, orang Bajau, dan orang Borgo. Istilah Bohusami ini seolah-olah telah menjadi gabungan dari keempat kebudayaan daerah yang ada dalam provinsi Sulawesi Utara.

[36]Lihat Van. Y Paasen, Kerjasama Antar Agama dan Prospeknya: Kasus Sulawesi Utara, dalam Masalah-masalah Pembangunan: Bunga Rampai Antropologi Terapan, Koentjaraningrat (ed.). Jakarta. LP3ES, 1982, hlm.

[37]Lihat, Sastro M. Wantu, Pola Rekrutmen Elite Politik Golkar di Sulawesi Utara, Tesis S2 Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 1994, hlm. 45-63.


Aksi

Information

Tinggalkan komentar