Puasa dan Peduli Lingkungan

18 05 2010

Oleh: Mahyudin Damis

Apa benar puasa dapat mewujudkan kepedulian terhadap sesama? Jawabannya pasti ya. Peduli terhadap sesama bisa tampak pada pelaku yang sedang menjalankan ritual puasa. Ketika pelaku sedang merasakan haus dan lapar, pada saat yang sama —pelaku dapat merasakan pula pahit getirnya hidup si fakir miskin. Perasaan empati inilah  merupakan wujud kepedulian terhadap sesama. Ketika pelaku puasa menjalankan perintah Tuhan tunaikan zakat, infaq dan sedekah, hal ini juga merupakan perwujudan dari kepedulian terhadap sesama.

Kemudian, bagaimana dengan sikap peduli terhadap lingkungan bagi orang yang berpuasa? Terus terang, penulis merasa tidak percaya diri untuk langsung memberi jawaban positif, karena berbagai fakta memilukan tentang kerusakan dan perusakan lingkungan seperti pembalakan liar, perambahan hutan, konversi untuk pertambangan dan perkebunan masih terus terjadi. Artinya, dalam konteks ini pelaku puasa di Indonesia umumnya belum menunjukkan bahwa puasa mereka bisa menampakkan kepedulian terhadap lingkungan.

Informasi yang kita peroleh dari berbagai media memperlihatkan bahwa banyak daerah di tanah Air telah disibukkan dengan permasalahan ekologis, misalnya banjir dan rawan longsor. Padahal sebelumnya, mereka telah diuji kesabarannya dengan bencana kekeringan dan kebakaran hutan. Berikut, kasus bencana nasional banjir lumpur panas Lapindo yang belum juga usai di Porong Sidoarjo, kemudian laju perusakan hutan dan pesisir berjalan cepat, serta ancaman pemanasan global semakin konkret merupakan indikasi guna menggugat kembali ajaran agama terhadap permasalahan ekologi.

Di Sulawesi Utara, tidak sedikit pula warga yang telah kehilangan tempat tinggal, harta benda dan bahkan nyawa manusia akibat terpaan banjir bandang dan tanah longsor. Berangkat dari semua contoh kasus di atas mengulang pertanyaan tadi, — bagaimana agama berperan dan bersikap terhadap lingkungan hidup?

Ayat-ayat Ilmiah al-Qur’an Tentang Lingkungan

Sesungguhnya, agama (Islam) sama sekali tidak pernah mengabaikan lingkungan hidup. Al-Qur’an secara eksplisit banyak menyajikan ayat yang melarang berbuat kerusakan. Al-Qur’an telah menegaskan hal ini dalam Q.S. Ar Ruum (30):41): “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Pesan-pesan al-Qur’an mengenai lingkungan sangat jelas dan visioner. Memang telah tampak kerusakan di depan mata kita. Pada saat kota Manado memerlukan lahan  untuk pembangunan pusat perbelanjaan, hasil penambangan batuan dan pengurukan bukit dan gunung (berasal dari darat) telah menutupi sebagian wilayah perairan pantai Manado—- paling tidak telah mempengaruhi ekosistem lingkungan. Tadinya daerah perbukitan banyak ditumbuhi pepohonan, kini telah dijadikan kawasan hunian/perumahan oleh pengembang dan penguasa. Masih banyak lagi contoh pembangunan yang telah merusak lingkungan hidup yang mengakibatkan hilangnya daerah tangkapan air sehingga debet mata air berkurang, kualitas air menurun, menurunnya tingkat kesuburan tanah, pencemaran udara, hingga ketika hujan 2 sampai 3 hari saja sangat riskan terjadi banjir dan longsor. Ini akibat keserakahan manusia dengan melakukan kegiatan pembangunan menurut hawa nafsu, dan tidak memedulikan lagi keseimbangan alam, akibatnya bahaya selalu mengancam bagi manusia itu sendiri. Dalam Q.S. Al Hijr (15):19-20) Allah SWT berfirman; Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakannya pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.” Menurut ahli lingkungan ayat ini menunjukkan bahwa lingkungan sebagai suatu sistem. Suatu sistem terdiri atas komponen-komponen yang bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan. Atau seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Lingkungan terdiri atas unsur biotik (manusia, hewan, dan tumbuhan) dan abiotik (udara, air, tanah, batu, iklim dan lainnya). Dengan demikian, ayat ini telah menunjukkan pada kita bahwa persoalannya bukan pada agama melainkan pada manusia itu sendiri.

Agama sama sekali tidak mengabaikan dan bersikap apatis terhadap lingkungan hidup. Tuhan telah memberi peringatan melalui berfirman-Nya: “…dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS.Al Qashash (28):70). Ayat ini sesungguhnya dapat dilihat sebagai sebuah tamparan bagi bangsa Indonesia karena laju kerusakan hutannya telah mencapai 2 persen atau 1,87 juta hektar pertahun. Dengan kata lain, 51 kilometer persegi hutan kita rusak setiap hari atau 300 kali lapangan sepak bola setiap jam (data hasil riset dari Organisasi Pangan dan Pertanian, lihat Fatah, 2007).

Berkaitan dengan kepedulian terhadap lingkungan, sejak 1400 an tahun yang lalu Nabi Muhammad SAW telah bersabda; “Jika sebelum kiamat, ada satu biji kurma saja di tangan kamu dan kamu bisa menanamnya, maka tanamlah kurma itu.” Hadis ini memberi isyarat bahwa pada saat-saat terakhirpun agama memerintahkan kepada kita untuk bisa menanam dan tidak diperbolehkan untuk berbuat kerusakan.

Ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis di atas yang membicarakan tentang manusia yang mengabaikan lingkungan dalam mengeksploitasi alam dengan alasan pembangunan, sangat bersesuaian dengan pertanyaan para ahli antropologi yaitu; apakah tujuan pembangunan sesungguhnya untuk kesejahteraan atau justru menyengsarakan manusia?

Puasa, Pengendalian Diri

Puasa adalah wahana pelatihan atau tranning langsung dari Tuhan untuk menempa kesabaran, kepedulian akan sesama, kepedulian akan lingkungan, kedisiplinan, dan peneladanan sifat-sifat Tuhan agar tercipta kehidupan manusia yang lebih baik. Oleh sebab itu, tranning sesungguhnya adalah ketika puasa Ramadhan berakhir, selanjutnya manusia dapat memulai kehidupan yang baru.

Penanganan masalah lingkungan tidak bisa hanya berharap dari pemerintah meskipun ia mempunyai peran kunci. Masyarakat harus terlibat untuk memperbaiki dan memelihara lingkungan agar tetap lestari. Karenanya, tujuan puasa menjadi penting. Sebab, tujuan puasa sebenarnya adalah “pengendalian diri” dalam arti luas dalam rangka memperoleh predikat taqwa. Pengendalian diri dari keinginan-keinginan duniawi yang tidak terkendali atau nafsu batiniah yang tidak seimbang. Untuk itu, kesadaran sosiologis ibadah puasa sangat dibutuhkan. Tanpa kesadaran seperti ini, ibadah puasa hanya menjadi ritual yang berbuah haus dan lapar semata.

Jika kita telah dapat mengendalikan diri untuk tidak menjadikan jalan raya jadi keranjang sampah, misalnya dari atas mobil membuang sampah ke jalan raya, kemudian mengendalikan diri untuk tidak membuang sampah di daerah aliran sungai, maka puasa kita telah bermakna, atau tidak sekedar menahan haus dan lapar semata. Ketika kita bisa mengendalikan diri untuk tidak membuang sampah di daerah aliran sungai berarti kita telah mensyukuri nikmat laut dan segala yang menyertainya. Artinya, bagi warga yang  tidak membuang sampah di sungai berarti ia telah turut menjaga kebersihan Taman Laut Bunaken. Bunaken yang begitu mempesona adalah salah satu karunia atau nikmat yang diberikan Tuhan kepada kita. Oleh karenanya, kita perlu syukuri nikmat tersebut.  Bukankah kata hikmah yang terkenal pada kaum muslimin, yaitu; kebersihan sebagian dari iman?

Suatu hal lagi yang harus kita ingat bahwa, kerusakan lingkungan hidup juga terjadi karena kita bersikap mental boros. Tidak hemat dalam pemakaian air, listrik, dan BBM, yang menyebabkan eksploitasi sumber-sumber daya alam meningkat. Akhirnya, kita harus memberi apresiasi bagi ilmuan lingkungan yang memiliki spiritualitas dan berprinsip bahwa: bumi bukanlah warisan untuk generasi yang akan datang, tetapi bumi ini adalah pinjaman dari anak cucu kita. Allahu A’lam.


Aksi

Information

Tinggalkan komentar